Rabu, 22 Juni 2011

Hubungan Antara Al-Quran dan Al-Hadits

 1.      Tinjauan Tentang Al-Qur’an
  1.  Pengertian Al-Qur’an
Menurut bahasa, kata Al-Qur’an adalah bentuk masdar yang berasal dari kata qoro’a yang memiliki makna sinonim dengan kata qiro’ah, yaitu bacaan.
Menurut istilah, Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dalam bahadsa arab, riwayatnya mutawattir. Oleh karena itu terjemahan Al-Qur’an tidak disebut sebagai Al-Qur’an.
Para ahli ilmu kalam berpendapat bahwa Al-Qur’an itu adalah lafal yang diturunkan kepada Nabi Muhammad mulai dari awal surah Al-Fatihah sampai surah An-Nas, yang mempunyai keistimewaan-keistimewaan yang terlepas dari sifat-sifat kebendaan.
Dr. A. Yusuf Al-Qosim memberukan definisi Al-Qur’an dengan menyebutkan identitasnya :
“Al-Qur’an ialah kalam mu’jiz yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang tertulis dalam mushaf yang diriwayatkan dengan mutawattir, dan membacanya adalah ibadah.”
Al-qur’an merupakan sendi fundamental  dan rujukan pertama bagi semua dalil dan hukum syari’at.

  1. Keistimewaan Al-Qur’an
Dari beberapa pengertian Al-Qur’an diatas maka dapat diketahui bahwa Al-Qur’an memiliki keistimewaan-keistimewaan yaitu :
1.    Lafadz dan maknanya datang dari allah swt, dan diwahyukan kepada Rosululloh Saw melalui perantaraan malaikat jibril. Nabi tidak merubah kalimat maupun pengertian (makna)nya, dan hanya menyampaikan apa yang beliau terima. Oleh karena itu, tidak boleh meriwayatkan Al-Qur’an dengan makna, inilah yang membedakan Al-Qur’an dengan Hadits Qudsy. Karena Hadits Qudsy merupakan perkataan Nabi yang maknanya merupakan wahyu dari Allah SWT.
2.      Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa arab, sebagaimana firman Allah SWT :
Artinya : “Sesungguhnya Kami menjadikan Al-Quran dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya).”
Berdasarkan hal tersebut, maka terjemahan Al-Qur’an kedalam bahasa lain tidak disebut sebagai Al-Qur’an dan karenanya maka tidak sah sholat menggunakan terjemahan Al-Qur’an.
3.     Al-Qur’an disampaikan/ diterima melalui jalan mutawattir, sehinnga menimbulkan keyakinan dan kepastian akan kebenaranya. Dia dihafal dalam hati, dibukukan dalam mushaf dan disebar luaskan keseluruh negeri. Allah menjamin terpeliharanya Al-Qur'an dengan firman-Nya.
Artinya : “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”
  1. Kehujjahan Al-Qur’an
Semua ayat-ayat dalam Al-Qur’an merupakan hujjah yang dapat diterima secara yakin. Alasan bahwa Al-Qur’an adalah hujjah bagi ummat manusia, dan hukum-hukumnya merupakan undang-undang yang harus ditaati ialah : bahwa Al-Qur’an itu diturankan dari sisi Allah SWT, dan di sampaikan kepada umat manusia dengan jalan yang pasti, dan tidak terdapat keraguan mengenai kebenarannya. Segala hukum yang bersumber dari Al-Qur’an merupakan hukum yang pasti dan tidak terdapat keraguan didalammya.
2.      Tinjauan Tentang Hadits
1.   Pengertian Hadits
Secara lughowiyah hadits berarti baru, hadits juga dapat diartikan “sesuatu yang dibicarakan dan dinukil.”
Menurut istilah ahli hadits yang dimaksud dengan As-Sunnah adalah segala yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik yang berupa perkataan, perbuatan, dan pengakuan/ ketetapan Rasulullah SAW, yang berposisi sebagai petunjuk dan tasyri’.
Sedangkan menurut istilah ahli ushul fiqh hadits adalah perkataan, perbuatan dan penetapan yang disandarkan kepada nabi Muhammad saw setelah kenabiannya. Adapun perkataan, perbuatan dan penetapan beliau sebelum kenabiannya tidak dianggap sebagai hadits.
2.   Kehujjhan Hadits
Para ulama bersepakat bahwa sunnah merupakan sumber syari’ah yang ketentuan-ketentuannya sejajar dengan Al-Qur'an. Hal ini jika hadits tersebut merupakan hadits yang mutawattir (shohih). Hukum islam merupakan apa yang terkandung dalam Al-Qur'an menurut penjelasan rosul melalui sunnahnya
Bukti tentang kehujjahan hadits sebagai sumber hukum didasarkan kepada beberapa ayat Al-Qur'an, diantaranya :
Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir".
3.   Bentuk-bentuk Hadits

Sesuai pengertiannya dengan berdasarkan secara terminologi, Hadits ataupun Sunnah, dapat dibagi menjadi tiga macam hadits : 
1.   Hadits Qauli
Hadits yang berupa perkataan (Qauliyah), contohnya sabda Nabi SAW :
"Orang mukmin dengan orang mukmin lainnya bagaikan sebuah bangunan, yang satu sama lain saling menguatkan." (HR. Muslim)
2.   Hadits Fi’il,
Hadits yang berupa perbuatan (fi’liyah) mencakup perilaku Nabi SAW, seperti tata cara shalat, puasa, haji, dsb. Berikut contoh haditsnya, Seorang sahabat berkata :
“Nabi SAW menyamakan (meluruskan) saf-saf kami ketika kami melakukan shalat. Apabila saf-saf kami telah lurus, barulah Nabi SAW bertakbir.” (HR. Muslim)
3.   Hadits Taqriri
Hadits yang berupa penetapan (taqririyah) atau penilaian Nabi SAW terhadap apa yang diucapkan atau dilakukan para sahabat yang perkataan atau perbuatan mereka tersebut diakui dan dibenarkan oleh Nabi SAW.
Contohnya hadits berikut, seorang sahabat berkata ;
“Kami (Para sahabat) melakukan shalat dua rakaat sesudah terbenam matahari (sebelum shalat maghrib), Rasulullah SAW terdiam ketika melihat apa yang kami lakukan, beliau tidak menyuruh juga tidak melarang kami ” (HR. Muslim)

3. Tinjauan Tentang Hubungan Al-Qur’an dan Hadits
Al-hadits didefinisikan oleh pada umumnya ulama --seperti definisi Al-Sunnah-- sebagai "Segala sesuatu yang dinisbahkan kepada Muhammad saw., baik ucapan, perbuatan dan taqrir (ketetapan), maupun sifat fisik dan psikis, baik sebelum beliau menjadi nabimaupun sesudahnya." Ulama ushul fiqh, membatasi pengertian hadis hanya pada "ucapan-ucapan Nabi Muhammad saw. yang berkaitan dengan hukum"; sedangkan bila mencakup pula perbuatan dan taqrir beliau yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal ini mereka namai Al-Sunnah. Pengertian hadis seperti yang dikemukakan oleh ulama ushul tersebut, dapat dikatakan sebagai bagian dari wahyu Allah SWT yang tidak berbeda dari segi kewajiban menaatinya dengan ketetapan-ketetapan hukum yang bersumber dari wahyu Al-Quran.
Sementara itu, ulama tafsir mengamati bahwa perintah taat kepada Allah dan Rasul-Nya yang ditemukan dalam Al-Quran dikemukakan dengan dua redaksi berbeda. Pertama adalah Athi'u Allah wa al-rasul, dan kedua adalah Athi'u Allah wa athi'u al-rasul. Perintah pertama mencakup kewajiban taat kepada beliau dalam hal-hal yang sejalan dengan perintah Allah SWT; karena itu, redaksi tersebut mencukupkan sekali saja penggunaan kata athi'u. Perintah kedua mencakup kewajiban taat kepada beliau walaupun dalam hal-hal yang tidak disebut secara eksplisit oleh Allah SWT dalam Al-Quran, bahkan kewajiban taat kepada Nabi tersebut mungkin harus dilakukan terlebih dahulu --dalam kondisi tertentu-- walaupun ketika sedang melaksanakan perintah Allah SWT, sebagaimana diisyaratkan oleh kasus Ubay ibn Ka'ab yang ketika sedang shalat dipanggil oleh Rasul saw. Itu sebabnya dalam redaksi kedua di atas, kata athi'u diulang dua kali, dan atas dasar ini pula perintah taat kepada Ulu Al-'Amr tidak dibarengi dengan kata athi'u karena ketaatan terhadap mereka tidak berdiri sendiri, tetapi bersyarat dengan sejalannya perintah mereka dengan ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya.
(Perhatikan Firman Allah dalam QS 4:59). Menerima ketetapan Rasul saw. dengan penuh kesadaran dan kerelaan tanpa sedikit pun rasa enggan dan pembangkangan, baik pada saat ditetapkannya hukum maupun setelah itu, merupakan syarat keabsahan iman seseorang,demikian Allah bersumpah dalam Al-Quran Surah Al-Nisa' ayat 65.
Tetapi, di sisi lain, harus diakui bahwa terdapat perbedaan yang menonjol antara hadits dan Al-Quran dari segi redaksi dan cara penyampaian atau penerimaannya. Dari segi redaksi, diyakini bahwa wahyu Al-Quran disusun langsung oleh Allah SWT. Malaikat Jibril hanya sekadar menyampaikan kepada Nabi Muhammad saw., dan beliau pun langsung menyampaikannya kepada umat, dan demikian seterusnya generasi demi generasi. Redaksi wahyu-wahyu Al-Quran itu, dapat dipastikan tidak mengalami perubahan, karena sejak diterimanya oleh Nabi, ia ditulis dan dihafal oleh sekian banyak sahabat dan kemudian disampaikan secara tawatur oleh sejumlah orang yang --menurut adat-- mustahil akan sepakat berbohong. Atas dasar ini, wahyu-wahyu Al-Quran menjadi qath'iy al-wurud. Ini, berbeda dengan hadis, yang pada umumnya disampaikan oleh orang per orang dan itu pun seringkali dengan redaksi yang sedikit berbeda dengan redaksi yang diucapkan oleh Nabi saw. Di samping itu, diakui pula oleh ulama hadis bahwa walaupun pada masa sahabat sudah ada yang menulis teks-teks hadis, namun pada umumnya penyampaian atau penerimaan kebanyakan hadis-hadis yang ada sekarang hanya berdasarkan hafalan para sahabat dan tabi'in. Ini menjadikan kedudukan hadis dari segi otensititasnya adalah zhanniy al-wurud.
Walaupun demikian, itu tidak berarti terdapat keraguan terhadap keabsahan hadis karena sekian banyak faktor -- baik pada diri Nabi maupun sahabat beliau, di samping kondisi sosial masyarakat ketika itu, yang topang-menopang sehingga mengantarkan generasi berikut untuk merasa tenang dan yakin akan terpeliharanya hadis-hadis Nabi saw.
Fungsi Hadis terhadap Al-Quran Al-Quran menekankan bahwa Rasul saw. berfungsi menjelaskan maksud firman-firman Allah (QS 16:44). Penjelasan atau bayan tersebut dalam pandangan sekian banyak ulama beraneka ragam bentuk dan sifat serta fungsinya. 'Abdul Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar, dalam bukunya Al-Sunnah fi Makanatiha wa fi Tarikhiha menulis bahwa Sunnah mempunyai fungsi yang berhubungan dengan Al-Quran dan fungsi sehubungan dengan pembinaan hukum syara'.
Dengan menunjuk kepada pendapat Al-Syafi'i dalam Al-Risalah, 'Abdul Halim menegaskan bahwa, dalam kaitannya dengan Al-Quran, ada dua fungsi Al-Sunnah yang tidak diperselisihkan, yaitu apa yang diistilahkan oleh sementara ulama dengan bayan ta'kid dan bayan tafsir. Yang pertama sekadar menguatkan atau menggarisbawahi kembali apa yang terdapat di dalam Al-Quran, sedangkan yang kedua memperjelas,merinci, bahkan membatasi, pengertian lahir dari ayat-ayat Al-Quran.
Persoalan yang diperselisihkan adalah, apakah hadis atau Sunnah dapat berfungsi menetapkan hukum baru yang belum ditetapkan dalam Al-Quran? Kelompok yang menyetujui mendasarkan pendapatnya pada 'ishmah (keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syariat) apalagi sekian banyak ayat yang menunjukkan adanya wewenang kemandirian Nabi saw. untuk ditaati. Kelompok yang menolaknya berpendapat bahwa sumber hukum hanya Allah, Inn al-hukm illa lillah, sehingga Rasul pun harus merujuk kepada Allah SWT (dalam hal ini Al-Quran), ketika hendak menetapkan hukum.
Kalau persoalannya hanya terbatas seperti apa yang dikemukakan di atas, maka jalan keluarnya mungkin tidak terlalu sulit, apabila fungsi Al-Sunnah terhadap Al-Quran didefinisikan sebagai bayan murad Allah (penjelasan tentang maksud Allah) sehingga apakah ia merupakan penjelasan penguat, atau rinci, pembatas dan bahkan maupun tambahan, kesemuanya bersumber dari Allah SWT. Ketika Rasul saw. melarang seorang suami memadu istrinya dengan bibi dari pihak ibu atau bapak sang istri, yang pada zhahir-nya berbeda dengan nash ayat Al-Nisa' ayat 24, maka pada hakikatnya penambahan tersebut adalah penjelasan dari apa yang dimaksud oleh Allah SWT dalam firman tersebut.
Tentu, jalan keluar ini tidak disepakati, bahkan persoalan akan semakin sulit jika Al-Quran yang bersifat qathi'iy al-wurud itu diperhadapkan dengan hadis yang berbeda atau bertentangan, sedangkan yang terakhir ini yang bersifat zhanniy al-wurud. Disini,pandangan para pakar sangat beragam. Muhammad Al-Ghazali dalam bukunya Al-Sunnah Al-Nabawiyyah Baina Ahl Al-Fiqh wa Ahl Al-Hadits, menyatakan bahwa "Para imam fiqih menetapkan hukum-hukum dengan ijtihad yang luas berdasarkan pada Al-Quran terlebih dahulu. Sehingga, apabila mereka menemukan dalam tumpukan riwayat (hadits) yang sejalan dengan Al-Quran, mereka menerimanya, tetapi kalau tidak sejalan,mereka menolaknya karena Al-Quran lebih utama untuk diikuti."
Pendapat di atas, tidak sepenuhnya diterapkan oleh ulama-ulama fiqih. Yang menerapkan secara utuh hanya Imam Abu Hanifah dan pengikut-pengikutnya. Menurut mereka, jangankan membatalkan kandungan satu ayat, mengecualikan sebagian kandungannya pun tidak dapat dilakukan oleh hadis. Pendapat yang demikian ketat tersebut, tidak disetujui oleh Imam Malik dan pengikut-pengikutnya. Mereka berpendapat bahwa alhadits dapat saja diamalkan, walaupun tidak sejalan dengan Al-Quran, selama terdapat indikator yang menguatkan hadis tersebut, seperti adanya pengamalan penduduk Madinah yang sejalan dengan kandungan hadis dimaksud, atau adanya ijma' ulama menyangkut kandungannya. Karena itu, dalam pandangan mereka, hadis yang melarang memadu seorang wanita dengan bibinya, haram hukumnya, walaupun tidak sejalan dengan lahir teks ayat Al-Nisa' ayat 24.
Imam Syafi'i, yang mendapat gelar Nashir Al-Sunnah (Pembela Al-Sunnah), bukan saja menolak pandangan Abu Hanifah yang sangat ketat itu, tetapi juga pandangan Imam Malik yang lebih moderat. Menurutnya, Al-Sunnah, dalam berbagai ragamnya, boleh saja berbeda dengan Al-Quran, baik dalam bentuk pengecualian maupun penambahan terhadap kandungan Al-Quran. Bukankah Allah sendiri telah mewajibkan umat manusia untuk mengikuti perintah Nabi-Nya? Harus digaris bawahi bahwa penolakan satu hadis yang sanadnya sahih, tidak dilakukan oleh ulama kecuali dengan sangat cermat dan setelah menganalisis dan membolak-balik segala seginya. Bila masih juga ditemukan pertentangan, maka tidak ada jalan kecuali mempertahankan wahyu yang diterima secara meyakinkan (Al-Quran) dan mengabaikan yang tidak meyakinkan (hadis).
Pemahaman atas Makna Hadis Seperti dikemukakan di atas, hadis, dalam arti ucapan-ucapan yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad saw., pada umumnya diterima berdasarkan riwayat dengan makna, dalam arti teks hadis tersebut, tidak sepenuhnya persis sama dengan apa yang diucapkan oleh Nabi saw. Walaupun diakui bahwa cukup banyak persyaratan yang harus diterapkan oleh para perawi hadis, sebelum mereka diperkenankan meriwayatkan dengan makna; namun demikian, problem menyangkut teks sebuah hadis masih dapat saja muncul.
Apakah pemahaman makna sebuah hadis harus dikaitkan dengan konteksnya atau tidak. Apakah konteks tersebut berkaitan dengan pribadi pengucapnya saja, atau mencakup pula mitra bicara dan kondisi sosial ketika diucapkan atau diperagakan? Itulah sebagian persoalan yang dapat muncul dalam pembahasan tentang pemahaman makna hadis.
Al-Qarafiy, misalnya, memilah Al-Sunnah dalam kaitannya dengan pribadi Muhammad saw. Dalam hal ini, manusia teladan tersebut suatu kali bertindak sebagai Rasul, di kali lain sebagai mufti, dan kali ketiga sebagai qadhi (hakim penetap hukum) atau pemimpin satu masyarakat atau bahkan sebagai pribadi dengan kekhususan dan keistimewaan manusiawi atau kenabian yang membedakannya dengan manusia lainnya. Setiap hadis dan Sunnah harus didudukkan dalam konteks tersebut.
Al-Syathibi, dalam pasal ketiga karyanya, Al-Muwafaqat, tentang perintah dan larangan pada masalah ketujuh, menguraikan tentang perintah dan larangan syara'. Menurutnya, perintah tersebut ada yang jelas dan ada yang tidak jelas. Sikap para sahabat menyangkut perintah Nabi yang jelas pun berbeda. Ada yang memahaminya secara tekstual dan ada pula yang secara kontekstual.
Suatu ketika, Ubay ibn Ka'ab, yang sedang dalam perjalanan menuju masjid, mendengar Nabi saw. bersabda, "Ijlisu (duduklah kalian)," dan seketika itu juga Ubay duduk di jalan. Melihat hal itu, Nabi yang mengetahui hal ini lalu bersabda kepadanya, "Zadaka Allah tha'atan." Di sini, Ubay memahami hadis tersebut secara tekstual.
Dalam peperangan Al-Ahzab, Nabi bersabda, "Jangan ada yang shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah." Sebagian memahami teks hadis tersebut secara tekstual, sehingga tidak shalat Ashar walaupun waktunya telah berlalu --kecuali di tempat itu.
Sebagian lainnya memahaminya secara kontekstual, sehingga mereka melaksanakan shalat Ashar, sebelum tiba di perkampungan yang dituju. Nabi, dalam kasus terakhir ini,tidak mempersalahkan kedua kelompok sahabat yang menggunakan pendekatan berbeda dalam memahami teks hadis.
Imam Syafi'i dinilai sangat ketat dalam memahami teks hadis, tidak terkecuali dalam bidang muamalat. Dalam hal ini, Al-Syafi'i berpendapat bahwa pada dasarnya ayat-ayat Al-Quran dan hadis-hadis Nabi saw., harus dipertahankan bunyi teksnya, walaupun dalam bidang muamalat, karena bentuk hukum dan bunyi teks-teksnya adalah ta'abbudiy, sehingga tidak boleh diubah. Maksud syariat sebagai maslahat harus dipahami secara terpadu dengan bunyi teks, kecuali jika ada petunjuk yang mengalihkan arti lahiriah teks.
Kajian 'illat, dalam pandangan Al-Syafi'i, dikembangkan bukan untuk mengabaikan teks, tetapi untuk pengembangan hukum. Karena itu, kaidah al-hukm yaduru ma'a illatih wujud wa 'adam, 115 hanya dapat diterapkan olehnya terhadap hasil qiyas, bukan terhadap bunyi teks Al-Quran dan hadis. Itu sebabnya Al-Syafi'i berpendapat bahwa lafal yang mengesahkan hubungan dua jenis kelamin, hanya lafal nikah dan zawaj, karena bunyi hadis Nabi saw. menyatakan, "Istahlaltum furujahunna bi kalimat Allah (Kalian memperoleh kehalalan melakukan hubungan seksual dengan wanita-wanita karena menggunakan kalimat Allah)", sedangkan kalimat (lafal) yang digunakan oleh Allah dalam Al-Quran untuk keabsahan hubungan tersebut hanya lafal zawaj dan nikah.
Imam Abu Hanifah lain pula pendapatnya. Beliau sependapat dengan ulama-ulama lain yang menetapkan bahwa teks-teks keagamaan dalam bidang ibadah harus dipertahankan, tetapi dalam bidang muamalat, tidak demikian. Bidang ini menurutnya adalah ma'qul alma'na, dapat dijangkau oleh nalar. Kecuali apabila ia merupakan ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan dengan perincian, maka ketika itu ia bersifat ta'abbudiy juga. Teks-teks itu, menurutnya, harus dipertahankan, bukan saja karena akal tidak dapat memastikan mengapa teks tersebut yang dipilih, tetapi juga karena teks tersebut diterima atas dasar qath'iy al-wurud. Dengan alasan terakhir ini, sikapnya terhadap teks-teks hadis menjadi longgar. Karena, seperti dikemukakan di atas, periwayatan lafalnya dengan makna dan penerimaannya bersifat zhanniy.
Berpijak pada hal tersebut di atas, Imam Abu Hanifah tidak segan-segan mengubah ketentuan yang tersurat dalam teks hadis, dengan alasan kemaslahatan. Fatwanya yang membolehkan membayar zakat fitrah dengan nilai, atau membenarkan keabsahan hubungan perkawinan dengan lafal hibah atau jual beli, adalah penjabaran dari pandangan di atas. Walaupun demikian, beliau tidak membenarkan pembayaran dam tamattu' dalam haji, atau qurban dengan nilai (uang) karena kedua hal tersebut bernilai ta'abudiy, yakni pada penyembelihannya.
Demikianlah beberapa pandangan ulama yang sempat dikemukakan tentang hadis.

Kesimpulan
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa Al-Qur'an dan Al-Hadits/ As-Sunnah merupakan rujukan utama bagi hukum Syari’at islam. Al-Qur`an dan Hadits (sunnah) merupakan sumber pokok ajaran Islam.
Sunnah mempunyai fungsi menjelaskan maksud ayat-ayat Al-Qur`an dan dapat pula berdiri sendiri dalam menentukan sebagian dari pada beberapa hukum Syari’at.
Bila Al-Qur`an telah mengatur suatu hukum secara nash, maka sunnah ada kalanya mengukuhkan hukum yang telah ada pada Al-Qur'an tersebut, Sehingga permasalahan tersebut memiliki dua dasar hukum yang dapat dijadikan hujjah.
Jika Al-Qur`an memberikan aturan secara global, maka sunnah akan memberikan penjelasan tentang maksudnya. Kemudian, penjelasan sunnah tidak mungkin keluar dari lingkup alternatif yang diberikan oleh Al-Qur`an.
Dan jika terdapat suatu permasalahan yang belum terdapat hukumnya didalam Al-Qur'an, maka rosululloh melalui sunnahnya akan menetapkan hukum bagi permasalahan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Farisi Rudi Arlan, Hubungan Hadits dengan Al-Qur’an, , 06 Mei 2009
Shihab Quraish, Hubungan Hadis dan Al-Quran, 06 December 2009

0 komentar:

Posting Komentar