Kamis, 30 Juni 2011

Model Mengajar Menggunakan Metode Eksperimen

Kadang-kadang menurut Rusyan (1993:110) orang menangaburkan pengertian eksperimen dengan kerja Labotarium, meskipun kedua pengertian ini mengandung prinsip yang hamper sama. Namun berbeda dalam konotasinya. Eksperimen adalah percobaan untuk membuktikan suatu pertanyaan atau hipotesis tertentu. Eksperimen bisa dilakukan pada suatu Labotarium atau diluar Labotarium. Pekerjaan eksperimen mengandung makna beljar untuk berbuat, karena itu dapat dimaksudkan kedalam metode pembeljaran. Metode ekperimen adalah cara penyajian bahan pelajaran dimana siswa melakukan percobaan dengan mengalami untuk membuktikan sendiri suatu pertanyaan atau hipotesis yang dipelajari.
Dalam proses belajar mengajar dengan metode eksperimen ini sisiwa diberi kesempatan untuk mengalami sendiri atau melakukan sendiri, mengikuti proses, mengemati suatu objek, keadaan atau proses sesuatatu. Peran guru dalam metode eksperimen ini sangat penting, khususnya berkaitan dengan ketelitian dan kecermatan sehinggatidak terjai kekeliruan dan kesalahan dalam memaknai kegiaatan eksperimen dalam kegiatan belajar mengajar. Jadi, peren guru untuk emmbuat kegiatan belajar ini menjadi factor penentu berhasil atau gagalnya metode eksperimen ini.
a.    Kebaikan-Kebaikannya
     Metoden eksperimen mempunyai kebaikan sebagai berikut :
1.   Metode ini dapat membuat siswa lebih percaya atas kebenaran atau kesimpulan berdasarkanpercobaannya sendiri dari pada hanya menerima kata guru atau buku saja.
2.  Dapat mengembangkan sikap untuk mengadakan studi eksploratoris tentang sains dan teknollogi. Atau sikap dari sseseorang ilmuwan.
3.    Metode ini didukung dengan asas-asas didaktik mederent, antara lain :
Ø Siswa belajar dengan mengalami atau mengamati sendiri suatu proses atau kejadian.
Ø    Siswa terhindar jauh dari verbalisme
Ø    Memperkaya pengalaman dengan hal-hal yang bersifat objektif dan realities
Ø Mengembangkan sikap berfikir ilmiah
Ø    Hasil belajar akan tahan lama daninternalitas.
b.   Kelemahan-Kelemahanya
     Selain kebaikan tersebut metode eksperimen mengandung beberapa kelemahan sebagai berikut :
1.   Pelaksanaan metode ini sering memerlukan berbagai failitas peralatan dan bahan yang tidak selalu mudah diperoleh dan murah
2.  Setiap eksperimen tidak selalu memberikan hasil yang diharapkan karena mungkin ada factor-faktor tertentu yang berada diluar jangkauan kemampuan atau pengendalian
3.  Sangat menutu penguasaan perkembangan materi, fasilitas parelatan dan bahan mutakhir. Sering terjadi siswa lebih dahulu mengenal dan menggunakan alat bahan tertentu dari pada guru.
c.    Cara Mengatasi Kelemahan-Kelemashan Metode Eksperimen
Ada beberapa cara untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dari metode manusia dari metode eksperimen :
1.  Hendaknya guru menerangkan sejelas-jelasnya tentang hasil yang ingin dicapai sehingga ia mengetahui pertanyaan-pertnyaan yang perlu dijawab dengan eksperimen
2.  Hendaknya guru membicarakan bersama-sama dengan siswa tentang langkah yang dianggap baik untuk memecahkan masalah dalm ekperiemn, serta bahan-bahan yang diperlukan, variable yang perlu dikontrol dan hal-hal yang perlu dicatat
3.    Bila perlu gur menolong siswa untuk memperoleh bahan-bahan yang diperlukan
4.  Guru perlu menrengsang agar setelah eksperimen berakhir. Ia membanding-bandingkan hasinya dengan hasil ekperimen orang lain dan mendiskusikannya bila ada perbedaan-perbedaan atau kekliurun.

Rabu, 29 Juni 2011

KHIYAR

A.  Latar Belakang
الخيار طلب خير الامرين من امضاء البيع او فسخه (بلوغ المرام : ١٧٥)
Khiyar adalah boleh memilih antara dua, meneruskan akad jual beli atau mengurungkan (menarik kembali, tidak jadi jual beli).  Dalam artiyan apabila ada orang berjual beli satu benda, selama mereka belum berpisah dari majlis itu masing-masing ada haq boleh urungkan jual beli tersebut.
Diadakan khiyar oleh syara’ agar kedua orang yang berjual beli dapat memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak akan terjadi penyesalan di kemudian hari  lantaran merasa tertipu.
Sabda Rasulullah SAW :
عن ابن عمر رضي الله عنه عن رسول الله صلي الله عليه وسلم قال : ( اذا تبع الرجلان, فكل واحد منهما باالخيا ر مالم يتفرقا وكا ن جميعا او يخير احدهما الاخر, فا ن خيّر احدهما الاخر فتبا يعا علي ذلك فقد وجب البيع وان تفرّقا بعد ان تبا يعا ولم يترك وحد منهما البيع فقد وجب البيع ) متفق عليه واللفظ لمسلم
Artinya :
Dari Ibnu Umar, dari Rasulullah SAW. Ia bersabda : “Apabila dua orang berjual beli, maka tiap-tiap seseorang dari mereka (berhaq) khiyar selama mereka tidak berpisah dan adalah mereka bersama-sama atau selama seorang dari mereka tidak menentukan khiyar kepada yang lainnya. Jika seorang dari mereka tetapkan khiyar kepada yang lainnya, lalu mereka berjual beli atas (ketetapan) tersebut, maka jadilah jual beli itu; dan jika mereka berpisah sesuadah jual beli dan seorang dari mereka tidak tinggalkan benda yang dijual belikan itu, maka jadilah jual beli itu”. Muttafaq ‘alaih, tetapi lafazh itu bagi Muslim.
Dan apabila ada seorang dari yang jual beli berkata kepada lainnya : Apakah kita bikin jadi jual beli ini ? lalu ia jawab : Baiklah atau jadi ; maka jual beli itu telah shah dan masing-masing tidak ada khiyar (bikin urung). Tetapi apabila dua orang dari yang berjual beli berpisah, sedang seorang dari mereka tidak tinggalkan benda yang dijual belikannya, maka jadilah jual beli itu dan tidak ada haq khiyar.

B. PEMBAGIAN KHIYAR
1.              Khiyar Majlis
Khiyar majlis sah menjadi milik si penjual dan si pembeli semenjak dilangsungkannya akad jual beli hingga mereka berpisah, selama mereka berdua tidak mengadakan kesepakatan untuk tidak ada khiyar, atau kesepakatan untuk menggugurkan hak khiyar setelah dilangsungkannya akad jual beli atau seorang di antara keduanya menggugurkan hak khiyarnya, sehingga hanya seorang yang memiliki hak khiyar.
Dari Ibnu Umar ra, dari Rasulullah saw bahwa Rasulullah saw bersabda, “Apabila ada dua orang melakukan transaksi jual beli, maka masing-masing dari mereka (mempunyai) hak khiyar, selama mereka belum berpisah dan mereka masih berkumpul atau salah satu pihak memberikan hak khiyarnya kepada pihak yang lain. Namun jika salah satu pihak memberikan hak khiyar kepada yang lain lalu terjadi jual beli, maka jadilah jual beli itu, dan jika mereka telah berpisah sesudah terjadi jual beli itu, sedang salah seorang di antara mereka tidak (meninggalkan) jual belinya, maka jual beli telah terjadi (juga).” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 332 no: 2112, Muslim 1163 no: 44 dan 1531, dan Nasa’i VII: 249).
Dan haram meninggalkan majlis kalau khawatir dibatalkan:
Dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari datuknya bahwa Rasulullah saw bersabda, “Pembeli dan penjual (mempunyai) hak khiyar selama mereka belum berpisah, kecuali jual beli dengan akad khiyar, maka seorang di antara mereka tidak boleh meninggalkan rekannya karena khawatir dibatalkan.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 2895, ‘Aunul Ma’bud IX: 324 no: 3439 Tirmidzi II: 360 no: 1265 dan Nasa’i VII: 251).

2.       Khiyar Syarat (Pilihan bersyarat)
Yaitu kedua orang yang sedang melakukan jual beli mengadakan kesepakatan menentukan syarat, atau salah satu di antara keduanya menentukan hak khiyar sampai waktu tertentu, maka ini dibolehkan meskipun rentang waktu berlakunya hak khiyar tersebut cukup lama.
Dari Ibnu Umar ra, dari Nabi saw Beliau bersabda, “Sesungguhnya dua orang yang melakukan jual beli mempunyai hak khiyar dalam jual belinya selama mereka belum berpisah, atau jual belinya dengan akad khiyar.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 326 no: 2107, Muslim III: 1163 no: 1531 dan Nasa’i VII: 248).
3.       Khiyar Aib
Yaitu jika seseorang membeli barang yang mengandung aib atau cacat dan ia tidak mengetahuinya hingga si penjual dan si pembeli berpisah, maka pihak pembeli berhak mengembalikan barang dagangan tersebut kepada si penjualnya.
Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda“Barangsiapa membeli seekor kambing yang diikat teteknya, kemudian memerahnya, maka jika ia suka ia boleh menahannya, dan jika ia tidak suka (ia kembalikan) sebagai ganti perahannya adalah (memberi) satu sha’ tamar.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 368 no: 2151 dan lafadz ini bagi Imam Bukhari, Muslim III: 1158 no: 2151 dan lafadz ini bagi Imam Bukhari, Muslim III: no: 1524, ‘Aunul Ma’bud IX: 312 no: 3428 dan Nasa’i VII: 253).
Dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw. Sabda beliau, “Janganlah kamu mengikat tetek unta dan kambing, siapa saja yang membelinya dalam keadaan ia demikian, maka sesudah memerahnya ia berhak memilih di antara dua kemungkinan, yaitu jika ia suka maka ia pertahankannya dan jika ia tidak suka maka ia boleh mengembalikannya (dengan menambah) satu sha’ tamar.” (Shahih: Shahihul Jami’ no: 7347, Fathul Bari IV: 361 no: 2148, ‘Aunul Ma’bud IX: 310 no: 3426 dengan tambahan pada awal kalimat, dan Nasa’i VII: 253).

C. Membatalkan Jual Beli
      Apabila terjaadi penyesalan diantara dua orang yang berjual beli disunatkan atas yang lain membatalkan jual beli antara keduanya.
Sabda Rasulullah SAW :
عن ابي هريرة رضي الله عنه قال رسول الله صلي الله عليه وسلم من اقال نادما اقال الله عثرته . رواه البزار
Artinya :
Abu Hurairoh telah menceritkan hadits berikut, bahwa Nabi SAW telah bersabda “ Barang siapa mencabut jual belinya terhadap orang yang menyesal maka Allah akan mencabut kejatuhannya. (kerugian dengannya. (Riwayat Bazzar).

D. Hukum Jual Beli
1.       Mubah (Boleh) merupakamn asal hukum jual beli
2.     Wajib umpamanya wali menjual harta anak yatim apabila terpaksa begitu juga harta muflis (orang yang lebih banyak hutangnya)
3.       Haram, apabila ada penipuan didalamnya.
4.   Sunat, misalnya jual beli kepada sahabat atau famili yang dikasihani dan kepada orang yang sangat membutuhkan barang itu.

E. Problematika
Apabila ada cacat pada barang sesudah akad sebelum diteerima maka barang yang dijual sebelum diterima oleh si pembeli masih dalam tanggungan si penjual, akan tetapi apabila barang tersebut ada di tangan si pembeli maka barang tersebut boleh dikembalikan dan diminta kembali uangnya. Akan tetapi apabila barang tersebut tidak ada lagi seperti umpamanya ia membeli kambing sedangkan kambingnya sudah mati atau yang du beli tanah itu sudah diwakafkan sesudah itu si pembeli baru mengetahui bahwa yang dibelinya itu ada cacatnya, maka dia berhak m4eminta ganti kerugian saja sebanyak kekurangan harga barang sebab adanya cacat itu.
Dan barang yang cacat itu hendaknya segera dikembalikan karena melalaikan hal ini berarti rida apa bbarang yang cacat kecualli kalau ada halangan.tetapi apabila si penjual tidak ada maka jangan di pakai lagi. Jika dia pakai juga hilanglah haknya untuk mengembalikan barang itu dan hak meminta ganti rugi pun hilanglah pula. 


F. Kesimpulan
Mengingat prinsip berlakunya jual beli adalah atas dasar suka-sama suka ('an taradhin minkum), maka syara' memberi kesempatan kepada kedua belah pihak yang melakukan akad jual beli untuk memilih antara dua kemungkinan ,yaitu melangsungkan jual beli atau mengurungkannya.
memilih antara dua kemungkinan inilah yang dinamakan khiyar dalam akad jual beli. Hak untuk memilih antara dua kemungkinan tersebut sepanjnag masing-masing pihak masih dalam keadaan mempertimbangkan.

Kamis, 23 Juni 2011

Hukum Haji Berulang-ulang Bagi Yang Mampu

A.   Pengertian Haji
Secara bahasa haji berarti Menuju atau mengunjungi dan secara istilah haji berarti mengunjungi ka’bah dan tanah suci, untuk beribadah yang telah ditentukan syarat, rukun dan kewajiban-kewajibannya.
   Haji adalah rukun islam yang kelima, didalam Al-Quran diperintahkan sebagai berikut : “mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah yaitu (bagi) orang yang sanggup  mengadakan perjalanan ke baitullah (Ali Imran :  97)”
   Adapun hadist shahih yang menerangkan bahwa haji itu adalah rukun islam ialah hadits yang menerangkan semua rukun islam yang lima. Yaitu : “islam itu didirikan atas lima perkara : 1. Bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan nabi Muhammad utusan Allah, 2. Menegakkan shalat, 3. Memberikan zakat, 4. Berpuasa dibulan ramadhan, 5. Mengerjakan Haji bagi yang mampu.

B.  Syarat-syarat wajib haji
Orang-orang yang berkewajiban menjalankan haji itu hanyalah yang memenuhi syarat-syarat yang tersebut di bwah ini :
1.   Isalm
2.   Berakal
3.   Baligh
4.   Merdeka
5.   Mampu
      Yang dimaksud dengan mampu adalah :
a.  Mempunyai bekal yang cukup untuk pulang pergi dan cukup pula untuk nafkah bagi yang ditinggalkan
b.  Ada kendaraan yang sesuai dengan keadaaanya. Ini bagi orang yang rumahnya jauh dari  mekkah
c.    Aman
d.  Bagi perempuan, bersama-sama dengan muhrimnya atau suaminya atau perempuan yang dipercayainya.
                 Anak kecil yang belum baligh belum berkewajiban atau belum baligh dapat sah juga hajinya, tetapi apabila sudah baligh masih berkewajiban pula menunaikan haji.
C.  Rukun, Wajib dan Sunnah  Haji
            Rukun haji ada enam perkara yaitu 1. Ihram, 2. Wukuf, 3. Thawaf, 4. Sa’yi, 5. Tahallul, 6. Tertib. Dan apabila ditinggalkan salah satu dari pada rukun-rukun tersebut maka tidak sah hajinya. Dan tidak dapat dianti dengan dam.
            Di dalam haji, selain rukun ada lagi kewajiban-kewajiban yang apabila ditinggalkan salah satu dari padanya tidaklah membatalkan haji, tetapi wajib membayar dam (denda). Adapun kewajiban haji :
   1. Ihram harus dari batas-batas tempat dan waktu yang telah ditentukan. Batas-batas tempat dan     waktu itu dinamakan Miqaat
   2. Bermalan di Musdalifah yakni sepulangnya dari Arafah ke Mina
   3. Bermalam di Mina selama 3 atau 2 malam pada hari tasyriq
  4.  Melontar jumroah-‘Aqabah pada tanggal 19 Dzulhijjah dan melontar Jumrah ketiga-tiganya pada hari-hari tasyriq
   5.  Meningglkan perkara-perkara yang diharamkan (terlarang) karena ihram.
Dan diantara sunnah haji sebagai berikut :
   1.   Mandi untuk ihram
   2.   Shalat sunnah ihram 2 rakaat
   3.   Thawaf qodum yaitu thawaf karena dating di tanah haram
   4.   Membaca tabliyah
   5.   Bermalam di Mina tanggal 9 Dzulhijjah
   6.   Berkumpul di Arafah pada siang dan malam (bukan siang saja)
   7.   Berhenti di Masy’ari-i-Haram pada hari nahar (10 Dzulhijjah)
   8.   Berpakaian ihram yang serba putih

D. Hikmah Ibadah Haji
      Sesungguhnya tiap-tiap ibadah itu mengadung hikmah. Ada yang mudah diketahui dan ada yang tidak mudah kecuali bagi orang yang telah tinggi pikirannya. Bertambah tinggi pikiran seseorang, bertambah tinggi pikirannya. Bertambah tinggi pikiran seseorang bertambah tinggi pula hikmah dari setiap ibadah yang yang diketahuinya. Maka dari itu tidaklah dilazimkan harus mengetahui segala hikmah. Cukuplah sekedar yang dapat menguatkan dan memantapkan keyakinan, sedang kita tentu percaya bahwa tiap-tiap perintah Allah SWT, itu tentu mengandung arti. Tuhan Allah maha bijaksana.
            Perlu dimengerti bahwa hikmah-hikmah yang baru kita ketahui itu tidak dapat dan tidak boleh dijadikan dasar pokok dari sesuatu ibadah, sehingga hikmah/faedah itu saja yang kita kejakan, dengan meninggalkan pokok ibadah saja!!  Tida boleh, karena masih banyak lagi hikmah-hikmah dari pada ibadah itu, yang masih belum kita ketahui dan mungkin akan kita ketahui.
           Sekarang tentang hikmah ibadah haji yang akan kita ketahui dengan mudah adalah sebagai berikut :
  1. jika rukun islam yang poertma meerupakan pengakuan dan persaksian. Rukun islam yang kedua berupa pengabdian yang berbentuk gerak lahir dan batin pada suatu tempat dan terbatas dengan beberapa waktu setiap hari. Rukun islam yang ketiga berupa pengabdia dengan harta milik; rukun islam yang keempat berupa pengorbanan dengan pengekangan hawa nafsu dan keinginan-keinginan. Dan rukun islam yang kelima yakni ibadah haji dan umrah mengandung seluruh bentuk rukun-rukun islam yang lain-lain itu dan menghayatkan kekuatan rohani dan jasmani, moral dan materil serta percobaan meninggalkan kampung halaman menunaikan panggilan Ilahi.
  2. dalam ibadah haji terlaksanalah perkenalan dan hubungan baik segala bangsa yang beragama islam.
  3. apabila ia pramuka merupakan suatu cara guna mendidik dan mempertinggi rasa kemanusiaan, serta mendidik hidup praktis dan sederhana maka dalam ibadah haji inilah dilaksanakan serta dijiwai dengan keagamaan, khususnya pada waktu wukuf di Arafah.
  4. di dalam haji ada rukun dan wajib yang meliputi segala gerak manusia hidup. Lari, berjalan, berpakaian, dan sebagainya. Semuanya benar-benarLillahi ta’ alla
E.  Hukum Haji Berulang-ulang
Apakah dianggap baik jika menunaikan haji dilakukan setiap tahun bagi orang yang suka melakukannya dan tidak berat baginya. Ataukah yang utama menunaikannya setiap tiga tahun sekali atau dua tahun sekali?
Allah Ta'ala mewajibkan haji bagi setiap mukallaf (orang yang telah terkena beban kewajiban) dan mampu melaksanakannya untuk melakukannya sekali seumur hidup. Adapun selebihnya dianggap sunnah dan taqarrub kepada Allah. Tidak ada dalil shahih yang membatasi jumlah pelaksanaan haji. Masalah pengulangan haji dikembalikan kepada kondisi orang mukallaf tersebut, baik dari sisi hartanya, kesehatannya dan kondisi orang-orang di sekelilingnya dari kaum kerabat dan kaum fakir, serta prioritas bantuan fisik maupun harta bagi kebaikan sosial, begitu juga hendaknya dipertimbangkan seberapa besar kedudukan dirinya antara ketika dia menetap atau safar untuk haji, atau pertimbangan-pertimbangan lainnya. Hendaklah setiap orang melihat kondisinya masing-masing, mana yang paling bermanfaat baginya dan bagi masyarakatnya yang dapat dia sumbangkan.
F.   Kenapa Dianjurkan Tidak Berulang?
Anjuran Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyumi (Waspada, 2 Juni 2008) untuk tidak berhaji berulang kali, ada alasannya :
1.   Mengingat jatah haji 220.000 orang per tahun, yang waiting list dua kali lebih banyak, maka apabila diberikan terbuka lebar kesempatan untuk melakukan ibadah haji berulang-ulang, yang ditaksir 20.000 orang setiap tahun orang melakukan ibadah haji berulang-ulang, maka akan menyita kesempatan, jatah bagi orang yang baru akan pertama kali naik haji. Untuk ini pedomanilah H.R Bukhari: Rasulullah SAW bersabda : 'Agama yang paling dicintai Allah adalah (Islam) yang lurus dan penuh toleransi'.
Orang lain yang sekadar memenuhi kewajibannya berhaji menjadi terhalang akibat anda, justru anda hanya berbuat melebihi yang wajib, maka Allah tidak menyukainya hal yang demikian, sesuai firman-Nya pada QS Al-Maidah 77: 'Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu'.
Untuk dimaklumi, pemerintah Arab Saudi melarang orang Arab setiap tahun berhaji. Boleh setelah 5 tahun sekali. Karena akan menyita tempat di Masjidil Haram atau Masjid Nabawi untuk shalat dan thawaf. Apalagi setiap tahun jumlah jamaah meningkat. Sekarang sudah hampir 2 + juta jamaah yang beribadah haji.
2.  Tidak harus menghajikan orang tuanya, atau keluarganya. Ditanya, kenapa harus dihajikan orang tuanya? Ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama: dulu orang tuanya kurang mampu, tidak sehat, tidak aman dsb ? Kalau begitu, maka tidak jatuh hukum wajib berhaji pada orang tuanya. Kenapa harus dihajikan ? Lebih bagus berikan uangnya pada orang lain, agar ada kesempatan bagi mereka berhaji. Kita dapat pahala dari ibadah orang itu atau orang yang kita tolong itu terus mendoakan kita semoga murah rezeki, sehat dsb. Dan ini berjalan terus menerus sepanjang orang itu masih hidup.
Kemungkinan kedua: orang tuanya sehat, kaya, aman. Tapi tidak naik haji. Maka hukumnya mati fasiq. Apa mati fasiq bisa ditebus dosanya oleh anaknya? Menebus dosa, sama dengan Katolik (surat 'banfluq' yang diprotes oleh Martin Loether).
3. Naik haji berulang-ulang, alasan mau cari pahala sebanyak-banyaknya. Ia lupa pahala yang diperolehnya itu hanya sekali pukul saja. Kalau orang lain, yang hidup diberinya kesempatan berangkat haji, orang ini akan berdoa terus untuk kebaikan kita, dan pahala akan mengalir terus pada kita selama orang itu beramal shaleh akibat hajinya.  
Selanjutnya camkanlah (pedomanilah) sebuah Hadits dari Anas bin Malik RA, ia berkata yang menceritakan bahwa pernah  tiga orang datang ke rumah Nabi SAW menanyakan mengenai sejauh mana Ibadah Nabi SAW, lalu seorang darinya berkomentar : 'Saya akan berpuasa terus menerus setiap hari'. Maka datanglah Rasulullah SAW bersabda : '........ aku shalat dan tidur, aku puasa dan berbuka, aku mengawini wanita-wanita dan barang siapa tidak suka pada Sunnahku, maka ia bukan dari golonganku (bukan umatku)'.
Makna Hadits di atas, Nabi SAW tidak suka atau benci pada orang yang beribadah berlebih-lebihan, melampaui batas meskipun dengan alasan akan mendekatkan diri pada Allah SWT sedekat-dekatnya, atau cari pahala sebanyak-banyaknya. Kebencian Nabi SAW itu terbukti lagi sesuai bunyi H.R  Muslim, Abu Daud, di mana Rasulullah SAW bersabda : 'Binasalah orang-orang yang berlebih-lebihan dan melampaui batas dalam perkataan dan perbuatan'.
Jadi ibadah haji yang wajib hanya satu kali, inilah batas yang diwajibkan Allah dan Rasul-Nya.
Dan Nabi SAW melakukan ibadah haji hanya 1 kali. Kenapa anda berkali-kali ? Anda mau mengungguli atau melebihi ibadah Nabi SAW. Mau mengerjakan yang sunat, pengalihannya, yaitu anda kerjakan umrah. Dengan umrah bisa lebih khusuk (tidak berdesak-desakan), dan anda boleh umrah berulang-ulang hanya sekali dalam 1 tahun, ini Sunnahnya. Jadi tidak benar, bila dikatakan, mengulangi haji untuk khusuk dan mencintai Allah dan Rasul-Nya
Kesimpulan
1.  Islam mendidik pribadi tidak egois, jangan serakah, dan harus toleransi.
2. Mendorong, menerjang, menyakiti orang supaya kita dapat mencium batu hitam Hajral Aswad adalah perbuatan zalim. Adalah sunat hukumnya mencium Hajral Aswad, dan wajib hukumnya tidak menyakiti/tidak merugikan orang lain. Jangan kita tinggalkan yang wajib demi mengerjakan yang sunat. Sunat hukumnya haji berulang-ulang, wajib hukumnya memberi kesempatan dan toleransi untuk orang yang diharuskan dan ingin melakukan tugas ibadah haji wajib.
3.  Meninggalkan yang wajib mendahulukan yang sunat : berdosa. Juga barangkali perlu didiskusikan apakah makna yang terkandung pada hadits setentang nilai  keuntungan yang tinggi pada pelaksanaan haji wajib, juga ada pada haji sunat? Misalnya tidak sama tingginya nilai shalat fardhu (wajib) dengan shalat sunat. Atau puasa bulan Ramadhan dengan puasa sunat.

Rabu, 22 Juni 2011

Hubungan Antara Al-Quran dan Al-Hadits

 1.      Tinjauan Tentang Al-Qur’an
  1.  Pengertian Al-Qur’an
Menurut bahasa, kata Al-Qur’an adalah bentuk masdar yang berasal dari kata qoro’a yang memiliki makna sinonim dengan kata qiro’ah, yaitu bacaan.
Menurut istilah, Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dalam bahadsa arab, riwayatnya mutawattir. Oleh karena itu terjemahan Al-Qur’an tidak disebut sebagai Al-Qur’an.
Para ahli ilmu kalam berpendapat bahwa Al-Qur’an itu adalah lafal yang diturunkan kepada Nabi Muhammad mulai dari awal surah Al-Fatihah sampai surah An-Nas, yang mempunyai keistimewaan-keistimewaan yang terlepas dari sifat-sifat kebendaan.
Dr. A. Yusuf Al-Qosim memberukan definisi Al-Qur’an dengan menyebutkan identitasnya :
“Al-Qur’an ialah kalam mu’jiz yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang tertulis dalam mushaf yang diriwayatkan dengan mutawattir, dan membacanya adalah ibadah.”
Al-qur’an merupakan sendi fundamental  dan rujukan pertama bagi semua dalil dan hukum syari’at.

  1. Keistimewaan Al-Qur’an
Dari beberapa pengertian Al-Qur’an diatas maka dapat diketahui bahwa Al-Qur’an memiliki keistimewaan-keistimewaan yaitu :
1.    Lafadz dan maknanya datang dari allah swt, dan diwahyukan kepada Rosululloh Saw melalui perantaraan malaikat jibril. Nabi tidak merubah kalimat maupun pengertian (makna)nya, dan hanya menyampaikan apa yang beliau terima. Oleh karena itu, tidak boleh meriwayatkan Al-Qur’an dengan makna, inilah yang membedakan Al-Qur’an dengan Hadits Qudsy. Karena Hadits Qudsy merupakan perkataan Nabi yang maknanya merupakan wahyu dari Allah SWT.
2.      Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa arab, sebagaimana firman Allah SWT :
Artinya : “Sesungguhnya Kami menjadikan Al-Quran dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya).”
Berdasarkan hal tersebut, maka terjemahan Al-Qur’an kedalam bahasa lain tidak disebut sebagai Al-Qur’an dan karenanya maka tidak sah sholat menggunakan terjemahan Al-Qur’an.
3.     Al-Qur’an disampaikan/ diterima melalui jalan mutawattir, sehinnga menimbulkan keyakinan dan kepastian akan kebenaranya. Dia dihafal dalam hati, dibukukan dalam mushaf dan disebar luaskan keseluruh negeri. Allah menjamin terpeliharanya Al-Qur'an dengan firman-Nya.
Artinya : “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”
  1. Kehujjahan Al-Qur’an
Semua ayat-ayat dalam Al-Qur’an merupakan hujjah yang dapat diterima secara yakin. Alasan bahwa Al-Qur’an adalah hujjah bagi ummat manusia, dan hukum-hukumnya merupakan undang-undang yang harus ditaati ialah : bahwa Al-Qur’an itu diturankan dari sisi Allah SWT, dan di sampaikan kepada umat manusia dengan jalan yang pasti, dan tidak terdapat keraguan mengenai kebenarannya. Segala hukum yang bersumber dari Al-Qur’an merupakan hukum yang pasti dan tidak terdapat keraguan didalammya.
2.      Tinjauan Tentang Hadits
1.   Pengertian Hadits
Secara lughowiyah hadits berarti baru, hadits juga dapat diartikan “sesuatu yang dibicarakan dan dinukil.”
Menurut istilah ahli hadits yang dimaksud dengan As-Sunnah adalah segala yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik yang berupa perkataan, perbuatan, dan pengakuan/ ketetapan Rasulullah SAW, yang berposisi sebagai petunjuk dan tasyri’.
Sedangkan menurut istilah ahli ushul fiqh hadits adalah perkataan, perbuatan dan penetapan yang disandarkan kepada nabi Muhammad saw setelah kenabiannya. Adapun perkataan, perbuatan dan penetapan beliau sebelum kenabiannya tidak dianggap sebagai hadits.
2.   Kehujjhan Hadits
Para ulama bersepakat bahwa sunnah merupakan sumber syari’ah yang ketentuan-ketentuannya sejajar dengan Al-Qur'an. Hal ini jika hadits tersebut merupakan hadits yang mutawattir (shohih). Hukum islam merupakan apa yang terkandung dalam Al-Qur'an menurut penjelasan rosul melalui sunnahnya
Bukti tentang kehujjahan hadits sebagai sumber hukum didasarkan kepada beberapa ayat Al-Qur'an, diantaranya :
Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir".
3.   Bentuk-bentuk Hadits

Sesuai pengertiannya dengan berdasarkan secara terminologi, Hadits ataupun Sunnah, dapat dibagi menjadi tiga macam hadits : 
1.   Hadits Qauli
Hadits yang berupa perkataan (Qauliyah), contohnya sabda Nabi SAW :
"Orang mukmin dengan orang mukmin lainnya bagaikan sebuah bangunan, yang satu sama lain saling menguatkan." (HR. Muslim)
2.   Hadits Fi’il,
Hadits yang berupa perbuatan (fi’liyah) mencakup perilaku Nabi SAW, seperti tata cara shalat, puasa, haji, dsb. Berikut contoh haditsnya, Seorang sahabat berkata :
“Nabi SAW menyamakan (meluruskan) saf-saf kami ketika kami melakukan shalat. Apabila saf-saf kami telah lurus, barulah Nabi SAW bertakbir.” (HR. Muslim)
3.   Hadits Taqriri
Hadits yang berupa penetapan (taqririyah) atau penilaian Nabi SAW terhadap apa yang diucapkan atau dilakukan para sahabat yang perkataan atau perbuatan mereka tersebut diakui dan dibenarkan oleh Nabi SAW.
Contohnya hadits berikut, seorang sahabat berkata ;
“Kami (Para sahabat) melakukan shalat dua rakaat sesudah terbenam matahari (sebelum shalat maghrib), Rasulullah SAW terdiam ketika melihat apa yang kami lakukan, beliau tidak menyuruh juga tidak melarang kami ” (HR. Muslim)

3. Tinjauan Tentang Hubungan Al-Qur’an dan Hadits
Al-hadits didefinisikan oleh pada umumnya ulama --seperti definisi Al-Sunnah-- sebagai "Segala sesuatu yang dinisbahkan kepada Muhammad saw., baik ucapan, perbuatan dan taqrir (ketetapan), maupun sifat fisik dan psikis, baik sebelum beliau menjadi nabimaupun sesudahnya." Ulama ushul fiqh, membatasi pengertian hadis hanya pada "ucapan-ucapan Nabi Muhammad saw. yang berkaitan dengan hukum"; sedangkan bila mencakup pula perbuatan dan taqrir beliau yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal ini mereka namai Al-Sunnah. Pengertian hadis seperti yang dikemukakan oleh ulama ushul tersebut, dapat dikatakan sebagai bagian dari wahyu Allah SWT yang tidak berbeda dari segi kewajiban menaatinya dengan ketetapan-ketetapan hukum yang bersumber dari wahyu Al-Quran.
Sementara itu, ulama tafsir mengamati bahwa perintah taat kepada Allah dan Rasul-Nya yang ditemukan dalam Al-Quran dikemukakan dengan dua redaksi berbeda. Pertama adalah Athi'u Allah wa al-rasul, dan kedua adalah Athi'u Allah wa athi'u al-rasul. Perintah pertama mencakup kewajiban taat kepada beliau dalam hal-hal yang sejalan dengan perintah Allah SWT; karena itu, redaksi tersebut mencukupkan sekali saja penggunaan kata athi'u. Perintah kedua mencakup kewajiban taat kepada beliau walaupun dalam hal-hal yang tidak disebut secara eksplisit oleh Allah SWT dalam Al-Quran, bahkan kewajiban taat kepada Nabi tersebut mungkin harus dilakukan terlebih dahulu --dalam kondisi tertentu-- walaupun ketika sedang melaksanakan perintah Allah SWT, sebagaimana diisyaratkan oleh kasus Ubay ibn Ka'ab yang ketika sedang shalat dipanggil oleh Rasul saw. Itu sebabnya dalam redaksi kedua di atas, kata athi'u diulang dua kali, dan atas dasar ini pula perintah taat kepada Ulu Al-'Amr tidak dibarengi dengan kata athi'u karena ketaatan terhadap mereka tidak berdiri sendiri, tetapi bersyarat dengan sejalannya perintah mereka dengan ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya.
(Perhatikan Firman Allah dalam QS 4:59). Menerima ketetapan Rasul saw. dengan penuh kesadaran dan kerelaan tanpa sedikit pun rasa enggan dan pembangkangan, baik pada saat ditetapkannya hukum maupun setelah itu, merupakan syarat keabsahan iman seseorang,demikian Allah bersumpah dalam Al-Quran Surah Al-Nisa' ayat 65.
Tetapi, di sisi lain, harus diakui bahwa terdapat perbedaan yang menonjol antara hadits dan Al-Quran dari segi redaksi dan cara penyampaian atau penerimaannya. Dari segi redaksi, diyakini bahwa wahyu Al-Quran disusun langsung oleh Allah SWT. Malaikat Jibril hanya sekadar menyampaikan kepada Nabi Muhammad saw., dan beliau pun langsung menyampaikannya kepada umat, dan demikian seterusnya generasi demi generasi. Redaksi wahyu-wahyu Al-Quran itu, dapat dipastikan tidak mengalami perubahan, karena sejak diterimanya oleh Nabi, ia ditulis dan dihafal oleh sekian banyak sahabat dan kemudian disampaikan secara tawatur oleh sejumlah orang yang --menurut adat-- mustahil akan sepakat berbohong. Atas dasar ini, wahyu-wahyu Al-Quran menjadi qath'iy al-wurud. Ini, berbeda dengan hadis, yang pada umumnya disampaikan oleh orang per orang dan itu pun seringkali dengan redaksi yang sedikit berbeda dengan redaksi yang diucapkan oleh Nabi saw. Di samping itu, diakui pula oleh ulama hadis bahwa walaupun pada masa sahabat sudah ada yang menulis teks-teks hadis, namun pada umumnya penyampaian atau penerimaan kebanyakan hadis-hadis yang ada sekarang hanya berdasarkan hafalan para sahabat dan tabi'in. Ini menjadikan kedudukan hadis dari segi otensititasnya adalah zhanniy al-wurud.
Walaupun demikian, itu tidak berarti terdapat keraguan terhadap keabsahan hadis karena sekian banyak faktor -- baik pada diri Nabi maupun sahabat beliau, di samping kondisi sosial masyarakat ketika itu, yang topang-menopang sehingga mengantarkan generasi berikut untuk merasa tenang dan yakin akan terpeliharanya hadis-hadis Nabi saw.
Fungsi Hadis terhadap Al-Quran Al-Quran menekankan bahwa Rasul saw. berfungsi menjelaskan maksud firman-firman Allah (QS 16:44). Penjelasan atau bayan tersebut dalam pandangan sekian banyak ulama beraneka ragam bentuk dan sifat serta fungsinya. 'Abdul Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar, dalam bukunya Al-Sunnah fi Makanatiha wa fi Tarikhiha menulis bahwa Sunnah mempunyai fungsi yang berhubungan dengan Al-Quran dan fungsi sehubungan dengan pembinaan hukum syara'.
Dengan menunjuk kepada pendapat Al-Syafi'i dalam Al-Risalah, 'Abdul Halim menegaskan bahwa, dalam kaitannya dengan Al-Quran, ada dua fungsi Al-Sunnah yang tidak diperselisihkan, yaitu apa yang diistilahkan oleh sementara ulama dengan bayan ta'kid dan bayan tafsir. Yang pertama sekadar menguatkan atau menggarisbawahi kembali apa yang terdapat di dalam Al-Quran, sedangkan yang kedua memperjelas,merinci, bahkan membatasi, pengertian lahir dari ayat-ayat Al-Quran.
Persoalan yang diperselisihkan adalah, apakah hadis atau Sunnah dapat berfungsi menetapkan hukum baru yang belum ditetapkan dalam Al-Quran? Kelompok yang menyetujui mendasarkan pendapatnya pada 'ishmah (keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syariat) apalagi sekian banyak ayat yang menunjukkan adanya wewenang kemandirian Nabi saw. untuk ditaati. Kelompok yang menolaknya berpendapat bahwa sumber hukum hanya Allah, Inn al-hukm illa lillah, sehingga Rasul pun harus merujuk kepada Allah SWT (dalam hal ini Al-Quran), ketika hendak menetapkan hukum.
Kalau persoalannya hanya terbatas seperti apa yang dikemukakan di atas, maka jalan keluarnya mungkin tidak terlalu sulit, apabila fungsi Al-Sunnah terhadap Al-Quran didefinisikan sebagai bayan murad Allah (penjelasan tentang maksud Allah) sehingga apakah ia merupakan penjelasan penguat, atau rinci, pembatas dan bahkan maupun tambahan, kesemuanya bersumber dari Allah SWT. Ketika Rasul saw. melarang seorang suami memadu istrinya dengan bibi dari pihak ibu atau bapak sang istri, yang pada zhahir-nya berbeda dengan nash ayat Al-Nisa' ayat 24, maka pada hakikatnya penambahan tersebut adalah penjelasan dari apa yang dimaksud oleh Allah SWT dalam firman tersebut.
Tentu, jalan keluar ini tidak disepakati, bahkan persoalan akan semakin sulit jika Al-Quran yang bersifat qathi'iy al-wurud itu diperhadapkan dengan hadis yang berbeda atau bertentangan, sedangkan yang terakhir ini yang bersifat zhanniy al-wurud. Disini,pandangan para pakar sangat beragam. Muhammad Al-Ghazali dalam bukunya Al-Sunnah Al-Nabawiyyah Baina Ahl Al-Fiqh wa Ahl Al-Hadits, menyatakan bahwa "Para imam fiqih menetapkan hukum-hukum dengan ijtihad yang luas berdasarkan pada Al-Quran terlebih dahulu. Sehingga, apabila mereka menemukan dalam tumpukan riwayat (hadits) yang sejalan dengan Al-Quran, mereka menerimanya, tetapi kalau tidak sejalan,mereka menolaknya karena Al-Quran lebih utama untuk diikuti."
Pendapat di atas, tidak sepenuhnya diterapkan oleh ulama-ulama fiqih. Yang menerapkan secara utuh hanya Imam Abu Hanifah dan pengikut-pengikutnya. Menurut mereka, jangankan membatalkan kandungan satu ayat, mengecualikan sebagian kandungannya pun tidak dapat dilakukan oleh hadis. Pendapat yang demikian ketat tersebut, tidak disetujui oleh Imam Malik dan pengikut-pengikutnya. Mereka berpendapat bahwa alhadits dapat saja diamalkan, walaupun tidak sejalan dengan Al-Quran, selama terdapat indikator yang menguatkan hadis tersebut, seperti adanya pengamalan penduduk Madinah yang sejalan dengan kandungan hadis dimaksud, atau adanya ijma' ulama menyangkut kandungannya. Karena itu, dalam pandangan mereka, hadis yang melarang memadu seorang wanita dengan bibinya, haram hukumnya, walaupun tidak sejalan dengan lahir teks ayat Al-Nisa' ayat 24.
Imam Syafi'i, yang mendapat gelar Nashir Al-Sunnah (Pembela Al-Sunnah), bukan saja menolak pandangan Abu Hanifah yang sangat ketat itu, tetapi juga pandangan Imam Malik yang lebih moderat. Menurutnya, Al-Sunnah, dalam berbagai ragamnya, boleh saja berbeda dengan Al-Quran, baik dalam bentuk pengecualian maupun penambahan terhadap kandungan Al-Quran. Bukankah Allah sendiri telah mewajibkan umat manusia untuk mengikuti perintah Nabi-Nya? Harus digaris bawahi bahwa penolakan satu hadis yang sanadnya sahih, tidak dilakukan oleh ulama kecuali dengan sangat cermat dan setelah menganalisis dan membolak-balik segala seginya. Bila masih juga ditemukan pertentangan, maka tidak ada jalan kecuali mempertahankan wahyu yang diterima secara meyakinkan (Al-Quran) dan mengabaikan yang tidak meyakinkan (hadis).
Pemahaman atas Makna Hadis Seperti dikemukakan di atas, hadis, dalam arti ucapan-ucapan yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad saw., pada umumnya diterima berdasarkan riwayat dengan makna, dalam arti teks hadis tersebut, tidak sepenuhnya persis sama dengan apa yang diucapkan oleh Nabi saw. Walaupun diakui bahwa cukup banyak persyaratan yang harus diterapkan oleh para perawi hadis, sebelum mereka diperkenankan meriwayatkan dengan makna; namun demikian, problem menyangkut teks sebuah hadis masih dapat saja muncul.
Apakah pemahaman makna sebuah hadis harus dikaitkan dengan konteksnya atau tidak. Apakah konteks tersebut berkaitan dengan pribadi pengucapnya saja, atau mencakup pula mitra bicara dan kondisi sosial ketika diucapkan atau diperagakan? Itulah sebagian persoalan yang dapat muncul dalam pembahasan tentang pemahaman makna hadis.
Al-Qarafiy, misalnya, memilah Al-Sunnah dalam kaitannya dengan pribadi Muhammad saw. Dalam hal ini, manusia teladan tersebut suatu kali bertindak sebagai Rasul, di kali lain sebagai mufti, dan kali ketiga sebagai qadhi (hakim penetap hukum) atau pemimpin satu masyarakat atau bahkan sebagai pribadi dengan kekhususan dan keistimewaan manusiawi atau kenabian yang membedakannya dengan manusia lainnya. Setiap hadis dan Sunnah harus didudukkan dalam konteks tersebut.
Al-Syathibi, dalam pasal ketiga karyanya, Al-Muwafaqat, tentang perintah dan larangan pada masalah ketujuh, menguraikan tentang perintah dan larangan syara'. Menurutnya, perintah tersebut ada yang jelas dan ada yang tidak jelas. Sikap para sahabat menyangkut perintah Nabi yang jelas pun berbeda. Ada yang memahaminya secara tekstual dan ada pula yang secara kontekstual.
Suatu ketika, Ubay ibn Ka'ab, yang sedang dalam perjalanan menuju masjid, mendengar Nabi saw. bersabda, "Ijlisu (duduklah kalian)," dan seketika itu juga Ubay duduk di jalan. Melihat hal itu, Nabi yang mengetahui hal ini lalu bersabda kepadanya, "Zadaka Allah tha'atan." Di sini, Ubay memahami hadis tersebut secara tekstual.
Dalam peperangan Al-Ahzab, Nabi bersabda, "Jangan ada yang shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah." Sebagian memahami teks hadis tersebut secara tekstual, sehingga tidak shalat Ashar walaupun waktunya telah berlalu --kecuali di tempat itu.
Sebagian lainnya memahaminya secara kontekstual, sehingga mereka melaksanakan shalat Ashar, sebelum tiba di perkampungan yang dituju. Nabi, dalam kasus terakhir ini,tidak mempersalahkan kedua kelompok sahabat yang menggunakan pendekatan berbeda dalam memahami teks hadis.
Imam Syafi'i dinilai sangat ketat dalam memahami teks hadis, tidak terkecuali dalam bidang muamalat. Dalam hal ini, Al-Syafi'i berpendapat bahwa pada dasarnya ayat-ayat Al-Quran dan hadis-hadis Nabi saw., harus dipertahankan bunyi teksnya, walaupun dalam bidang muamalat, karena bentuk hukum dan bunyi teks-teksnya adalah ta'abbudiy, sehingga tidak boleh diubah. Maksud syariat sebagai maslahat harus dipahami secara terpadu dengan bunyi teks, kecuali jika ada petunjuk yang mengalihkan arti lahiriah teks.
Kajian 'illat, dalam pandangan Al-Syafi'i, dikembangkan bukan untuk mengabaikan teks, tetapi untuk pengembangan hukum. Karena itu, kaidah al-hukm yaduru ma'a illatih wujud wa 'adam, 115 hanya dapat diterapkan olehnya terhadap hasil qiyas, bukan terhadap bunyi teks Al-Quran dan hadis. Itu sebabnya Al-Syafi'i berpendapat bahwa lafal yang mengesahkan hubungan dua jenis kelamin, hanya lafal nikah dan zawaj, karena bunyi hadis Nabi saw. menyatakan, "Istahlaltum furujahunna bi kalimat Allah (Kalian memperoleh kehalalan melakukan hubungan seksual dengan wanita-wanita karena menggunakan kalimat Allah)", sedangkan kalimat (lafal) yang digunakan oleh Allah dalam Al-Quran untuk keabsahan hubungan tersebut hanya lafal zawaj dan nikah.
Imam Abu Hanifah lain pula pendapatnya. Beliau sependapat dengan ulama-ulama lain yang menetapkan bahwa teks-teks keagamaan dalam bidang ibadah harus dipertahankan, tetapi dalam bidang muamalat, tidak demikian. Bidang ini menurutnya adalah ma'qul alma'na, dapat dijangkau oleh nalar. Kecuali apabila ia merupakan ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan dengan perincian, maka ketika itu ia bersifat ta'abbudiy juga. Teks-teks itu, menurutnya, harus dipertahankan, bukan saja karena akal tidak dapat memastikan mengapa teks tersebut yang dipilih, tetapi juga karena teks tersebut diterima atas dasar qath'iy al-wurud. Dengan alasan terakhir ini, sikapnya terhadap teks-teks hadis menjadi longgar. Karena, seperti dikemukakan di atas, periwayatan lafalnya dengan makna dan penerimaannya bersifat zhanniy.
Berpijak pada hal tersebut di atas, Imam Abu Hanifah tidak segan-segan mengubah ketentuan yang tersurat dalam teks hadis, dengan alasan kemaslahatan. Fatwanya yang membolehkan membayar zakat fitrah dengan nilai, atau membenarkan keabsahan hubungan perkawinan dengan lafal hibah atau jual beli, adalah penjabaran dari pandangan di atas. Walaupun demikian, beliau tidak membenarkan pembayaran dam tamattu' dalam haji, atau qurban dengan nilai (uang) karena kedua hal tersebut bernilai ta'abudiy, yakni pada penyembelihannya.
Demikianlah beberapa pandangan ulama yang sempat dikemukakan tentang hadis.

Kesimpulan
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa Al-Qur'an dan Al-Hadits/ As-Sunnah merupakan rujukan utama bagi hukum Syari’at islam. Al-Qur`an dan Hadits (sunnah) merupakan sumber pokok ajaran Islam.
Sunnah mempunyai fungsi menjelaskan maksud ayat-ayat Al-Qur`an dan dapat pula berdiri sendiri dalam menentukan sebagian dari pada beberapa hukum Syari’at.
Bila Al-Qur`an telah mengatur suatu hukum secara nash, maka sunnah ada kalanya mengukuhkan hukum yang telah ada pada Al-Qur'an tersebut, Sehingga permasalahan tersebut memiliki dua dasar hukum yang dapat dijadikan hujjah.
Jika Al-Qur`an memberikan aturan secara global, maka sunnah akan memberikan penjelasan tentang maksudnya. Kemudian, penjelasan sunnah tidak mungkin keluar dari lingkup alternatif yang diberikan oleh Al-Qur`an.
Dan jika terdapat suatu permasalahan yang belum terdapat hukumnya didalam Al-Qur'an, maka rosululloh melalui sunnahnya akan menetapkan hukum bagi permasalahan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Farisi Rudi Arlan, Hubungan Hadits dengan Al-Qur’an, , 06 Mei 2009
Shihab Quraish, Hubungan Hadis dan Al-Quran, 06 December 2009